Jumat, 17 Juni 2011

Magelang Kota Kesehatan ( seminar dua )

Artikel pendukung yang perlu anda baca,

Mati Perlahan Cara Indonesia


Di negeri yang religius ini, orang mati dikoyak bom bukan lagi kejadian yang langka. Kepala tiba-tiba melayang dipenggal parang juga bukan kejadian yang jarang. Maka, jangan tersinggung kalau Indonesia dianggap sebagai sarang teroris. Perkelahian antaretnik atau kelompok juga sering terjadi, yang juga meminta korban jiwa.

Jadi, kalau untuk urusan mati tiba-tiba, Indonesia boleh disebut tempatnya. Artinya, jangan merasa heran kalau suatu saat teman atau keluarga atau bahkan Anda sendiri, yang segar bugar, tiba-tiba diberitakan meninggal karena serpihan bom, atau tewas karena zat mematikan seperti arsen, sebagaimana yang dialami Munir sang aktivis hak asasi manusia itu.

Begitu juga kalau anak gadis Anda tiba-tiba tewas karena dipenggal orang tidak dikenal. Kejadian mati tiba-tiba seperti itu bukan lagi sebagai peristiwa yang jarang di Indonesia.

Tetapi ternyata bangsa yang mengaku paling ramah dan taat beribadah ini juga mampu melakukan pembunuhan secara perlahan-lahan. Cara yang satu ini sangat bertolak belakang dengan cara teroris yang menggunakan bom dan senjata pembunuh lainnya. Mati perlahan cara Indonesia ternyata telah berlangsung lama, dan selama itu dibiarkan begitu saja.



Beberapa waktu terakhir ini, media massa gencar memberitakan beberapa jenis makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas yang ternyata mengandung zat beracun, khususnya formalin, boraks, dan bahan pewarna tekstil. Berita mengenai penggunaan bahan berbahaya dalam makanan sehari-hari sebenarnya pernah muncul sekitar 20 tahun yang lalu. Kalau beritanya pernah muncul 20 tahun yang lalu, hampir pasti bahan beracun itu telah masuk ke perut masyarakat banyak sejak lebih dari waktu itu.

Tahu, bakso, mi basah, ikan kering, ikan segar, daging ayam, dan sayuran adalah jenis makanan yang sangat populer dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Celakanya, semua jenis makanan itu telah dicemari dengan zat racun oleh para penjualnya.

Akan tetapi, ternyata tidak ada tindakan apa pun yang dilakukan oleh pihak yang terkait. Mungkin karena konsumen tidak tampak berteriak kesakitan dan berdarah meleleh membasahi wajah yang terluka. Artinya, sekian lama warga bangsa ini dibiarkan mengonsumsi racun untuk kemudian mati secara perlahan.

Barangkali banyak orang yang sekian lama mengonsumsi jenis makanan itu mengatakan dirinya sehat-sehat saja. Pernyataan itu benar. Sebab, formalin bukan seperti arsen yang mematikan dalam waktu singkat, kecuali ditelan dalam jumlah besar dan dengan konsentrasi yang tinggi. Akan tetapi, bahan pengawet mayat itu kalau terus masuk dan tertimbun di dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai kerusakan pada banyak organ.

Kanker merupakan salah satu akibat yang timbul, antara lain pada paru-paru dan nasofaring. Hanya saja, pada tulisan ini saya tidak ingin mengupas lebih jauh mengenai bahan beracun itu dalam kaitan dengan kesehatan. Saya lebih tertarik menyoroti perilaku kita sebagai bangsa, dalam kaitan dengan bahan beracun itu.

Siapa takut?

Salah seorang penjual tahu yang ternyata terbukti mengandung formalin, ketika menjawab pertanyaan jurnalis TV menyatakan akan tetap menjual makanan itu. Alasannya, karena dia telah menampung tenaga kerja. Penjual yang lain menjawab akan tetap menjual karena tidak ada pekerjaan lain.

Di pihak lain, warga masyarakat yang mengaku selalu mengonsumsi makanan yang ternyata berformalin, dengan lugu mengatakan akan tetap mengonsumsi. Alasannya sederhana, karena kematian ada di tangan Tuhan.

Kedua jawaban yang disampaikan oleh kedua pihak yang bertentangan itu, yaitu penjual makanan beracun dan konsumen yang dirugikan, ternyata mempunyai nuansa yang sama. Keduanya tidak peduli, atau dengan bahasa gaulnya mungkin; siapa takut?

Jawaban penjual, yang seakan menantang itu, mungkin dapat mewakili perilaku sangat banyak warga bangsa ini yang tidak peduli terhadap peraturan dan hukum. Kerap terjadi pengerahan massa yang disertai kekerasan untuk memaksakan kehendak, padahal sangat jelas melanggar hukum.

Sebagai contoh, warga yang mendiami tanah orang lain, ketika diminta meninggalkan tempat itu mereka justru menantang dan mengancam dengan membawa senjata. Bisa jadi fenomena seperti inilah yang membuat pihak berwenang tidak menyita atau menutup penjualan bahan makanan yang beracun itu, walaupun mudah dijumpai di banyak tempat.

Di pihak lain, jawaban konsumen tampaknya dapat mewakili ketidakberdayaan dan kebodohan kebanyakan warga bangsa ini. Banyak contoh warga bangsa ini yang tertipu karena ketidakmengertiannya sebagai konsumen. Setelah menjadi korban, mereka hanya pasrah walaupun merintih juga. Tidak terpikir mau menuntut secara hukum. Andaikata mau, harus berpikir berjuta kali, karena berarti harus terperangkap dalam rimba bisnis hukum yang liar.

Makanan beracun formalin atau boraks hanyalah contoh aktual, karena menyangkut sangat banyak orang. Tetapi sebelumnya sudah banyak juga warga bangsa yang menjadi korban pembodohan sekaligus penipuan lewat iklan, misalnya yang menawarkan penambahan ukuran penis dan pembesaran payudara dengan cara yang tidak ilmiah.

Menunggu kematian

Kini beberapa pihak berwenang mulai buka suara akan mengambil tindakan terhadap pihak yang menggunakan formalin. Penjual formalin eceran akan ditindak, katanya. Padahal sudah lama penjualan formalin eceran berlangsung dengan aman, termasuk melalui apotek. Padahal sangat jelas formalin tidak boleh dijual secara bebas karena tergolong bahan beracun.

Bukankah fenomena seperti ini sudah berlangsung lama? Banyak obat yang seharusnya tidak boleh dijual bebas, dibiarkan saja dijual bebas seolah-olah legal seperti di apotek. Publik yang tidak mengetahui bahwa obat itu sebenarnya tidak boleh dijual bebas, tetap saja membelinya dengan bebas.

Narkoba juga menjadi penyumbang utama anak bangsa yang mati perlahan. Jumlah korban narkoba di negeri ini terus meningkat. Ada pabrik narkoba yang telah diserbu polisi. Akan tetapi, peredaran barang pembawa maut itu tetap saja berlangsung; tenang tetapi meriah, dengan korban semakin banyak.

Kegagalan memberantas narkoba sama saja dengan menambah jumlah warga bangsa yang menunggu mati secara perlahan. Keterlibatan petugas yang melindungi perdagangan narkoba (dan sejenisnya) sama saja dengan keterlibatan pihak yang terkait dalam penjualan formalin secara bebas.

Kematian pengguna narkoba secara tiba-tiba karena kelebihan dosis memang sering terjadi. Namun, di balik itu semua, jauh lebih banyak yang tetap hidup sia-sia. Mereka tak berdaya, menjadi beban keluarga, sambil menunggu mati secara perlahan. Lalu apa bedanya dengan sangat banyaknya warga bangsa yang menjadi konsumen makanan berformalin itu?

Maka, tak dapat tidak, harus ada tindakan terprogram dan terpadu untuk memberantas penjualan bebas formalin, selain narkoba dan bahan pembunuh lainnya. Kalau tidak, saya khawatir akan dipatenkan sebuah cara baru untuk mati: mati perlahan cara Indonesia.

Narasumber : Wimpie Pangkahila - Kompas



Maut


Bila satu hari berarti 24 jam atau 86.400 detik, boleh jadi sebanyak bilangan itu pula kita telah terhindar dari maut. Bila waktu kita pahami dalam satuan ’saat’, yang tidak dibatasi oleh konstanta atau definisi material seperti di atas, maka dalam sehari bisa jadi kita lolos ratusan ribu bahkan miliaran kali (momentum/kepentingan) dari maut. Demikian tampak sesungguhnya: maut begitu dekat.
Bila satu hari berarti 24 jam atau 86.400 detik, boleh jadi sebanyak bilangan itu pula kita telah terhindar dari maut. Bila waktu kita pahami dalam satuan ’saat’, yang tidak dibatasi oleh konstanta atau definisi material seperti di atas, maka dalam sehari bisa jadi kita lolos ratusan ribu bahkan miliaran kali (momentum/kepentingan) dari maut. Demikian tampak sesungguhnya: maut begitu dekat.

Mungkin karenanya, kita harus saling mengucap (juga pada diri sendiri) ’selamat ulang tahun’ setiap hari, ’selamat tahun baru’ di tiap pergantian hari. Bahkan selamat ulang hari, ulang detik, ulang saat, setiap kali. Karena di tiap kali itu kita mau tak mau harus bersyukur: kita selamat dari saat yang baru lewat. Maut menjadi kepastian, jadi penanda utama ketidakpastian waktu, relativitas dalam saat.

Begitu lekat kita dengan maut. Ketika maut berkeliling seputar kita seperti pedagang asongan, ia tak lagi jadi teror. Apa pun bentuknya. Ia menjadi kelumrahan, seperti kita mengisap O2. Bahkan kita tak lagi peduli sama sekali saat persoalan hidup begitu mendesak kekinian kita. Semua mesti diselesaikan, saat ini. Tak peduli saat nanti, semenit, sehari, atau setahun lagi.

Hidup adalah saat ini, tak peduli nanti. Tak peduli mati. Satu élan yang gagah bagi sesuatu yang berkala ’nanti’. Satu fatalisme, hyper-pragmatism, bila melulu untuk ’saat ini’. Tak ada spiritualitas di sini. Melulu materialitas nasib. Puncak kekalahan manusia dari—di tengah peradaban yang bernafsu menundukkan—waktu. Barangkali dari posisi pengertian ini, ”Teroka” kita di awal tahun—dari pemerhati kesehatan senior, Prof Wimpie Pangkahila—bisa kita tarik maknanya. Selamat tahun baru!

Narasumber : Radhar Panca Dahana - Kompas

0 komentar: